Sejarah Kota Yogyakarta
16.670xSejarah berdirinya Kota Yogyakarta berawal dari Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755 (Kemis Kliwon, 12 Rabingulakir 1680 TJ). Kerajaan Mataram terbagi menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta. Pangeran Mangkubumi diakui menjadi raja Ngayogyakarta dengan gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Alega Abdul Rachman Sayidin Panatagama Khalifatullah.
Di bawah pohon besar di Desa Giyanti ini perjanjian perdamaian dan pembagian Mataram ditandatangani
Dokumen Perjanjian Giyanti (1755)
Adapun daerah-daerah yang menjadi kekuasaan Sultan Hamengku Bowono I adalah Mataram (Yogyakarta), Pojong, Sukowati, Bagelen, Kedu, dan Bumigede ditambah beberapa daerah mancanegara yaitu; Madiun, Magetan, Cirebon, Separuh Pacitan, Kartosuro, Kalangbret, Tulungagung, Mojokerto, Bojonegoro, Ngawen, Sela, Kuwu, Wonosari, dan Grobogan.
Setelah perjanjian pembagian daerah selesai, Sultan Hamengku Buwono I segera menetapkan bahwa Daerah Mataram yang ada di dalam kekuasaannya itu diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat dan beribukota di Ngayogyakarta (Yogyakarta). Ketetapan ini diumumkan pada tanggal 13 Maret 1755 (Kemis Pon, 29 Jumadilawal 1680 TJ). Peristiwa ini dikenal dengan nama Hadeging Nagari Ngayogyakarta.
Peta pembagian Mataram pada tahun 1757 sebagai hasil dari Perjanjian Giyanti dan Perjanjian Salatiga.
Tempat yang dipilih sebagai pusat pemerintahan atau keraton ialah Hutan Pabringan yang terletak di antara sungai Winongo dan Sungai Code. Lokasi tersebut dipandang strategis dari segi pertahanan dan keamanan.
Bakal lokasi Yogyakarta ditandai oleh Umbul (mata air) Pacethokan di tengah hutan Pabringan. Mungkin mata air itu kemudian dibangun menjadi Umbul Winangun di kompleks Tamansari
Pada tanggal 9 Oktober 1755 babat alas untuk pembangunan keraton dimulai. Untuk sementara, Sultan Hamengku Buwono I menempati Pesanggrahan Ambar Ketawang, Gamping. Dari sana Sultan mengawasi pembangunan keraton baru.
Bekas Kraton Pesanggrahan di Ambarketawang tempat Sultan tinggal sementara sebelum berkedudukan di Kraton Yogyakarta
Pembangunan keraton baru berlangsung selama hampir setahun. Tepat pada tanggal 7 Oktober 1756 (Kemis Pahing, 13 Sura 1682 TJ) Sultan Hamengku Buwono I beserta keluarga dan pengikutnya boyongan dari Ambarketawang menuju keraton yang baru selesai dibangun tersebut. Dalam penanggalan Tahun Jawa (TJ), peristiwa ini ditandai dengan sengkalan memet: Dwi Naga Rasa Tunggal dan Dwi Naga Rasa Wani.
Gerbang Kemagangen dan ornamen Dwi Naga Rasa Wani di kiri kanan pintu
Dikisahkan juga Sultan memasuki keraton dari selatan atau arah belakang atau gerbang yang biasa disebut sebagai Kori Kemagangan. Beberapa masa berikutnya di gerbang tersebut dibentuk hiasan yang menggambarkan angka tahun atau sengkalan untuk menggambarkan persitiwa bersejarah ini. Pada dinding penyekat di sisi dalam gerbang (banon renteng kelir) tergambar sepasang naga bertaut ekor yang dapat dibaca sebagai kalimat Dwi Naga Rasa Tunggal, sementara di dinding samping luar gerbang terdapat bentuk sepasang naga bersisik merah yang menghadap ke selatan yang berbunyi Dwi Naga Rasa Wani.
Monumen Dwi Naga Rasa Tunggal di sisi dalam Gerbang Kemagangan
Kedua ornamen tersebut sama-sama mengisyaratkan angka tahun 1682. Lebih dari sekedar menandai suatu bilangan, keduanya memuat semangat “tunggal” dan “wani” yang dapat dipahami bahwa dengan semangat kemanunggalan, Yogyakarta akan berani menghadapi berbagai tantangan dalam kehidupan.
Gambaran tentang Kraton Yogyakarta pada pertengahan masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono I diungkapkan dalam sketsa yang menampilkan Alun-alun Utara dengan sepasang beringin di tengahnya. Di belakang tampak bangunan besar yakni Tratag Pagelaran yang terletak di depan Siti Hinggil Utara. Kompleks ini dikelilingi pagar kayu serupa tombak yang disebut pacak suji
Karena peristiwa boyongan tersebut menjadi pangkal tolak berkehidupan dan berkeadaban, maka Pemerintah Kota Yogyakarta memilih momentum tersebut sebagai tanggal berdirinya Kota Yogyakarta.